Sebelumnya gue minta
maaf buat brosis yang udah nunggu postingan gue selanjutnya. Udah lumayan
lama memang gue nggak nulis lagi. udah tiga hari kayaknya.
Sebenarnya ada banyak
alasan yang buat gue nggak sempat nulis, serius banyak! Tapi gue udah
menyimpulkan bahwa alasan kenapa gue tega menelatarkan blog gue adalah karna
gue baru putus sama pacar gue. *agak hening*
Iya, gue putus sama
pacar gue pas awal tahun. *hening*
Dan gue pacaran sama
dia hanya 2 bulan. *pipi gue mulai basah*
Tapi gue sadar kalau
gue nggak bisa terus-terusan meratapi kegagalan gue (yang berulang-ulang).
Akhirnya gue mutusin untuk langsung nikah! *pasrah ditimpuk nyokap*
Oke, cukup intronya ~ *ngambil tisu*
Selama nggak ngeblog,
gue banyak dengerin curhat temen-temen gue tentang banyak hal, yang pada dasarnya
mengacu pada kebimbangan mereka mengambil keputusan dalam hidup mereka. Gue sadar
betul bahwa dalam membuat keputusan itu mencakup banyak hal dan nggak mudah. Apalagi harus mutusin untuk nggak punya pasangan dulu demi karir. Beh ~ #JombloNgeles
Gue menyadari bahwa
ketika kita ingin memutuskan sesuatu terutama ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan
hidup, ada dua hal yang sangat mempengaruhi kita yaitu perasaan dan logika.
(pitcure from: amethystaiko.com)
Ketika
keduanya nggak sejalan, kita akan mulai bimbang, cenderung menimbang-nimbang
dan akhirnya stuck atau malah terburu-buru mengambil tindakan. Misalkan ketika
kita berpikir kita bisa melakukan suatu hal dengan mudah namun ketika perasaan
kita berkata “tapi gue nggak tega”, “gue nggak mampu”, “gue masih sayang” maka
dengan sendirinya kita pun akan diam dan tidak melakukan apa-apa. Itupun yang
terjadi ketika kita tahu bahwa pacar atau pasangan kita seringkali mengecewakan
dan membuat karir kita berantakan, namun tetap saja kita memilih
mempertahankannya.
Yap! seringkali
perasaan yang memenangkan perdebatan dalam diri kita ketimbang logika. :’)
Namun, setiap pilihan
tentu memiliki resikonya masing-masing. Saat kita memilih untuk mempertahankan
hubungan pacaran yang “nggak sehat”, maka sadar atau tidak sadar kita telah
mengorbankan karir kita.
Lemon adalah seorang
mahasiswi (cewek tulen bukan jadi-jadian) di salah satu universitas ternama di
kota, dia mengambil jurusan arsitek. Pacarnya si Abu merupakan seorang
mahasiswa di sebuah universitas di desa. Lemon sayang banget sama si Abu, saat
si Abu minta pulsa, Lemon beliin hape. Saat si Abu minta transferin uang, Lemon
ngirimnya kartu kredit. Tapi karena di desa nggak menerima kartu kredit, Lemon akhirnya
mengirim uang lewat kantor pos itu pun pecahan dua ribu rupiah. Kebetulan di
desa Abu kalau belanja nggak menerima uang sepuluh ribuan ke atas karena penjual
takut nggak ada kembalian.
Singkat cerita...
Setelah
setahun pacaran, Lemon menyadari bahwa pacarnya si Abu sangat posesif, suka
ngatur, egois dan matre. Iuh ~ Ia juga sadar nilai-nilainya di
kampus merosot drastis sejak berpacaran dengan Abu. Lemon pun mencoba
menjelaskan kegundahan hatinya ke Abu dan berharap Abu mau mengerti serta
memberi solusi agar hubungan pacaran mereka nggak membuat kuliahnya berantakan.
Akan tetapi, ketika mendengar penjelasan Lemon, Abu sebagai cowok manja pun langsung naik darah dan dengan nada tinggi
ia membentak Lemon serta menuntut Lemon membuat keputusan untuk memilih hubungan mereka atau pendidikan
Lemon.
Ya, Abu memang kampret. Tapi keputusan Lemon pasti
sudah ketebak lah ya ~
Yap! karena perasaan
sayang yang begitu besar kepada Abu, sebulan kemudian Lemon memutuskan untuk
cuti kuliah dan menyusul Abu ke desa. Dua bulan kemudian Lemon hamil, ia
bingung gimana cara menyampaikan hal itu ke Abu. Dia takut Abu akan meninggalkannya. Dalam hatinya pun ada ketakutan dan kekhawatiran bagaimana ia
akan menjelaskan semua yang telah terjadi ke orang tuanya. Nggak terlintas sedikit pun dalam benak Lemon tentang masa depan
pendidikannya lagi.
Abu yang pada waktu itu akan mandi, mendadak terdiam saat membaca SMS dari Lemon bahwa ia harus bertanggungjawab atas kehamilan Lemon. Sesaat kemudian Abu menjadi sangat panik kemudian nggak
sengaja terpeleset dan terperosok masuk ke dalam sumur tempat ia mengambil air. Tamat!
Cerita diatas bukan
intro film horror terbaru Julia Perez, melainkan ilustrasi yang menggambarkan
bahwa setiap pilihan ada resikonya ~
Disini gue nggak ingin menyalahkan
seseorang karena lebih menggunakan perasaan untuk membuat keputusan karena gue
yakin orang yang hanya mengandalkan logika pun akan menerima resikonya. Kalau saat mengandalkan perasaan, seseorang akan cenderung menuruti ego dan terburu-buru memutuskan
tanpa berpikir panjang, maka biasanya mereka yang hanya mengandalkan
logika akan lambat untuk memutuskan. Mengapa?
Orang yang hanya mengandalkan logika biasanya akan cenderung
memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan seperti sebab-akibat, untung-rugi, cepat-lambat segala hal yang akan terjadi nanti. Namun pertimbangan yang terlalu banyak tanpa ada
dorongan rasa percaya diri dan keyakinan untuk bertindak ya percuma dan buang-buang waktu, karna keputusan yang dibuat pun hanya sebatas gagasan dalam pikiran
bukan kenyataan. Pada akhirnya orang seperti ini terkesan cuek dan nggak siap.
Mungkin
brosis pernah dengar pendapat yang mengatakan bahwa "cowok itu lebih
pake logika, sedangkan cewek lebih pake perasaan". Menurut gue pendapat
ini relatif, karna beberapa temen gue mengalami hal yang sebaliknya.
Ada
temen gue cowok melownya minta ampun, berantem dikit sama pacar
langsung nggak makan, nggak tidur kemudian nggak ngantor. Dia terlalu
nurut sama perasaannya yang lagi hancur makanya dia gampang down dan pesimis kalo ntar bakalan diputusin. Disisi lain ada juga temen gue cewek yang terlalu menggunakan logika saat ada masalah. Sebenarnya dia sudah tau apa yang harus ia lakukan dan yang terbaik untuknya. Hanya saja dia kebanyakan mikir, pertimbangannya terlalu banyak. Segala sesuatu ditanggapi dengan "what if". Akhirnya dia pun sulit mengambil keputusan dan galau karena stuck.
Brosis juga pada ngerti kan kalau segala
sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, dan ketika kita menggunakan logika atau
perasaan secara berlebihan untuk mengambil keputusan maka yang akan kita alami
adalah menyerah sebelum mencoba atau menyesal setelah mencoba. Trus kalo udah gitu, galau deh ~
Yap! galau yang kita
alami sebenarnya adalah imbas dari cara kita yang salah dalam menyikapi masalah.
1. Galau yang terjadi ketika kita terlalu menggunakan perasaan dalam menyikapi masalah.
Contoh: Ketika pacar jalan sama kedua kakaknya. Tanpa minta penjelasan, si Abu tiba-tiba cemburu buta dan langsung down merasa telah ditigakan *galau dipinggir tebing*. Pas udah terjun, tiba-tiba si pacar teriak "Abu, itu tadi sepupu gue! Gue sayangnya cuman sama lo! jangan matiiii!" *Abu tambah galau*. Kebayang nggak galaunya pas udah jadi hantu. #NggakMungkinMoveOn #Nyesek tapi kalau jatohnya jadi vampir sih mungkin si Abu masih bisa move on. *korban sinteron Ganteng Ganteng Jomblo* :')
2. Galau yang terjadi ketika kita
terlalu banyak berpikir atau menimbang-nimbang pada hal yang sebenarnya simple.
Contoh: Bingung memilih warna baju
dan celana untuk acara pemakaman *galau depan cermin*. Pas udah jalan, nyampe kuburan dah sepi. Pemakaman udah selesai sejam yang lalu *tambah galau*. Kebayang nggak tuh
separah apa galaunya dobel. Di kuburan pula. Huftt ~
Ini beneran kejadian sama temen gue.
Mudah-mudahan dia nggak
baca postingan ini…
Oke, lanjut…
Memang pada kenyataannya perasaan dan logika seringkali bersaing untuk saling menguasai sehingga untuk bisa membuat
perasaan dan logika bekerja sama ketika ada masalah tidaklah mudah untuk kita.
Tapi
menurut gue, ada satu hal yang bisa buat gue memutuskan atau menyikapi suatu
masalah tanpa harus menyesal dan galau pada akhirnya.
Biasanya ketika dihadapkan
dengan masalah dan pilihan-pilihan yang sulit, gue berusaha mengutamakan kebutuhan ketimbang keinginan
gue semata karena menurut gue keinginan itu ngontrolnya susah, susah terpuaskan juga.
Kalau yang satu udah tercapai pasti ingin yang lainnya, begitu seterusnya.
Sedangkan kebutuhan itu jelas. Kebutuhan itu prioritas. Orang yang bisa
membedakan antara keinginan dan kebutuhan adalah orang yang bisa menerima
dirinya apa adanya dan dia sadar betul posisinya ketika dihadapkan dengan
masalah.
Kalau saja temen gue nggak sibuk mikirin warna baju dan celana yang
harus dipakai demi memenuhi keinginannya untuk tampil modis di acara pemakaman
dan lebih mengutamakan kebutuhannya untuk hadir menghibur temannya yang baru
saja ditinggal orang tuanya, mungkin dia nggak akan menghabiskan waktu
berjam-jam di depan cermin dan hadir tepat waktu di acara pemakaman orang tua
temennya.
atau,,,
Lemon yang tetap memilih kuliah untuk memperjuangkan masa depan karirnya dan tidak menyusul Abu ke desa, mungkin dia akan mendapatkan masa depan yang lebih baik dan membuat orang tuanya bangga. Bukannya jadi single parent di usia remaja. =)
Gue percaya bahwa Tuhan punya rencana yang indah untuk setiap orang lewat kesempatan-kesempatan yang Ia berikan. Namun terkadang kesempatan itu kita lewatkan bahkan seringkali berubah jadi kesialan karena ketidakpekaan kita akan apa yang kita butuhkan dan apa yang Tuhan inginkan dari kita.
^_^
Pada akhirnya, meskipun tiap keputusan atau pilihan yang kita buat perlu pengorbanan, namun ketika kita
mengutamakan prioritas yakni kebutuhan kita maka kita nggak perlu khawatir akan menyesal telah
mengorbankan hal-hal yang hanyalah keinginan semata. Seperti halnya ketika
dimalam minggu lo terpaksa menunda kencan sama pacar demi menyelesaikan revisi skripsi. Mungkin pada saat itu lo merasa nggak bisa jadi pacar yang baik. Tapi lihat sisi
positifnya, seminggu kemudian lo bisa pergi kencan pake toga dan membuat pacar lo mupeng bangga. See, pengorbanan lo terbayarkan dengan manis dan pastinya lo nggak akan galau karenanya. =)
Oke sekian dulu
postingan gue kali ini, gue minta maaf kalau kata-kata gue ada yang membuat perasaan brosis tersinggung. Mudah-mudahan bermanfaat mencerahkan dan bukan menggalaukan. Amin ~
4 komentar:
Iaaaannn... hahahahahahahaha...
Cuma mo bilang dangkeee...
Cukup mencerahkan
Puji Tuhan..
Sip ella.. ^^
wkwkkwkwk
nice sharing bro :)
keep fighting :)
danke brader.. =)
Posting Komentar